Sektor perhotelan di Jakarta menghadapi masa sulit. Sejak awal tahun, tingkat hunian hotel terus menurun drastis akibat lesunya kunjungan wisata dan tekanan ekonomi pascapandemi. Kondisi ini memaksa banyak pengelola hotel mengurangi operasional, bahkan mempertimbangkan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal.
Asosiasi Perhotelan Indonesia (PHRI) mencatat penurunan okupansi hotel di Jakarta menyentuh angka rata-rata 30–40 persen, jauh di bawah batas aman untuk operasional jangka panjang. Pengelola hotel mengaku kesulitan menutup biaya operasional, seperti listrik, gaji karyawan, dan perawatan fasilitas.
Beberapa hotel sudah mulai merumahkan karyawan secara bergilir. Namun jika kondisi tak kunjung membaik, PHK besar-besaran menjadi opsi terakhir yang sulit dihindari. “Kami berusaha mempertahankan tenaga kerja semaksimal mungkin, tapi tekanan finansial semakin berat,” ujar salah satu manajer hotel bintang empat di kawasan Sudirman.
Pemerintah daerah mengaku memantau situasi ini dengan serius. Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta menyatakan siap memfasilitasi dialog antara pengusaha dan pekerja untuk mencari solusi terbaik. Meski begitu, banyak pekerja hotel mulai khawatir kehilangan mata pencaharian dalam waktu dekat.
Di sisi lain, pelaku industri berharap pemerintah memberikan insentif atau stimulus khusus bagi sektor perhotelan, seperti pengurangan pajak, bantuan medusa88 pinjaman lunak, atau promosi pariwisata domestik secara masif.
Jika tidak ada intervensi konkret dalam waktu dekat, gelombang PHK di sektor perhotelan bisa meluas dan berdampak langsung pada ribuan keluarga di Jakarta. Industri yang dulu jadi wajah keramahtamahan ibu kota kini berada di titik paling rentan.